Kamis, 08 September 2011
Rabu, 06 Juli 2011
Sahnya surat Perjanjian tanpa dibubuhi Materai
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.
Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.
Keabsahan suatu perjanjian tidak ditentukan oleh ada tidaknya meterai. Meterai hanya dipergunakan sebagai bukti bahwa Anda telah membayar pajak. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (“UU Bea Meterai”):
Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini”
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 K
Namun demikian, pematereian surat perjanjian adalah penting agar surat perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata (lihat pasal 2 ayat [1] huruf a UU Bea Meterai).
Syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata adalah:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. suatu hal tertentu
4. suatu sebab yang halal
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
- Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
sumber : hukum Online
Sabtu, 21 Mei 2011
Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji Materiil
Apakah perbedaan dari judicial review dengan hak uji materiil
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2), adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.
Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) danwet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilahpembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (hal. 57-58).
Hak atas uji materi maupun uji formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (lihat Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi):
1. perorangan warga negara Indonesia;
2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum publik atau privat; atau
4. lembaga negara.
Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agunguntuk pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Sumber : Hukumonline.com
Jumat, 20 Mei 2011
P-18,P-19, P-21............
pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Kode-kode tersebut adalah kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana.
Selengkapnya rincian dari kode-kode Formulir Perkara adalah
P-1 | Penerimaan Laporan (Tetap) |
P-2 | Surat Perintah Penyelidikan |
P-3 | Rencana Penyelidikan |
P-4 | Permintaan Keterangan |
P-5 | Laporan Hasil Penyelidikan |
P-6 | Laporan Terjadinya Tindak Pidana |
P-7 | Matrik Perkara Tindak Pidana |
P-8 | Surat Perintah Penyidikan |
P-8A | Rencana Jadwal Kegiatan Penyidikan |
P-9 | Surat Panggilan Saksi / Tersangka |
P-10 | Bantuan Keterangan Ahli |
P-11 | Bantuan Pemanggilan Saksi / Ahli |
P-12 | Laporan Pengembangan Penyidikan |
P-13 | Usul Penghentian Penyidikan / Penuntutan |
P-14 | Surat Perintah Penghentian Penyidikan |
P-15 | Surat Perintah Penyerahan Berkas Perkara |
P-16 | Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana |
P-16A | Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana |
P-17 | Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan |
P-18 | Hasil Penyelidikan Belum Lengkap |
P-19 | Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi |
P-20 | Pemberitahuan bahwa Waktu Penyidikan Telah Habis |
P-21 | Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap |
P-21A | Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap |
P-22 | Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti |
P-23 | Surat Susulan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti |
P-24 | Berita Acara Pendapat |
P-25 | Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara |
P-26 | Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan |
P-27 | Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penuntutan |
P-28 | Riwayat Perkara |
P-29 | Surat Dakwaan |
P-30 | Catatan Penuntut Umum |
P-31 | Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (APB) |
P-32 | Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) untuk Mengadili |
P-33 | Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB / APS |
P-34 | Tanda Terima Barang Bukti |
P-35 | Laporan Pelimpahan Perkara Pengamanan Persidangan |
P-36 | Permintaan Bantuan Pengawalan / Pengamanan Persidangan |
P-37 | Surat Panggilan Saksi Ahli / Terdakwa / Terpidana |
P-38 | Bantuan Panggilan Saksi / Tersngka / terdakwa |
P-39 | Laporan Hasil Persidangan |
P-40 | Perlawanan Jaksa Penuntut Umum terhadap Penetapan Ketua PN / Penetapan Hakim |
P-41 | Rencana Tuntutan Pidana |
P-42 | Surat Tuntutan |
P-43 | Laporan Tuntuan Pidana |
P-44 | Laporan Jaksa Penuntut Umum Segera setelah Putusan |
P-45 | Laporan Putusan Pengadilan |
P-46 | Memori Banding |
P-47 | Memori Kasasi |
P-48 | Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan |
P-49 | Surat Ketetapan Gugurnya / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi |
P-50 | Usul Permohanan Kasasi Demi Kepentingan Hukum |
P-51 | Pemberitahuan Pemidanaan Bersyarat |
P-52 | Pemberitahuan Pelaksanaan Pelepasan Bersyarat |
P-53 | Kartu Perkara Tindak Pidana |
Sumber : KlinikHukum.com
Langganan:
Postingan (Atom)