Rabu, 06 Juli 2011

Sahnya surat Perjanjian tanpa dibubuhi Materai

Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan  adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.

Keabsahan suatu perjanjian tidak ditentukan oleh ada tidaknya meterai. Meterai hanya dipergunakan sebagai bukti bahwa Anda telah membayar pajak. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (“UU Bea Meterai”):
Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 K

Namun demikian, pematereian surat perjanjian adalah penting agar surat perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata (lihat pasal 2 ayat [1] huruf a UU Bea Meterai). 

Syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata adalah:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. suatu hal tertentu
4. suatu sebab yang halal


Dasar hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
  2. Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
sumber : hukum Online