Rabu, 20 April 2011

EKSISTENSI PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN) DALAM MEWUJUDKAN SUATU PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)


 

Oleh : Agus Budi Susilo, SH.MH (Hakim PTUN Semarang)


 

Abstrak

Pejabat administrasi negara mempunyai kewenangan yang luas dalam melaksanakan urusan pemerintahan (eksekutif). Dengan wewenang yang luas ini cenderung untuk disalah gunakan sehingga menimbulkan kerugian dan ketidak adilan di pihak masyarakat, oleh karena itu harus ada lembaga lain yang mengontrolnya. Berdasarkan teori trias politika lembaga eksekutif secara politis dikontrol oleh lembaga legislatif dan secara yuridis dikontrol oleh lembaga yudikatif, karena pejabat administrasi negara menjalankan fungsi eksekutif maka lembaga yudikatif yang mengontrol secara yuridis adalah pengadilan administrasi negara (PTUN). Fungsi kontrol yuridis pengadilan administrasi negara (PTUN) bertujuan disamping untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dan pejabat administrasi negara itu sendiri, juga sebagai lembaga penegakan hukum administrasi negara yang bercita-cita untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik dan berwibawa (good governance).


 

A. Konsep Dasar Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dalam Negara Hukum

Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi kehidupan masyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh hukum.

Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.

    Dalam mempergunakan istilah "Negara Hukum", ternyata terdapat perbedaan penggunaan istilah diantara para ahli ketatanegaraan. Para ahli di Eropa Barat (Kontinental) seperti Immanuel Kant dan F.J. Stahl
menggunakan istilah "Rechtsstaat", sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah "Rule Of Law". Kedua istilah tersebut secara formil dapat mempunyai arti yang sama, yaitu negara hukum, akan tetapi secara materiil mempunyai arti yang berbeda yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa

    A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari "the rule of law" yaitu pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di hadapan hukum (equality before the law); ketiga, terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam Konstitusi. Adapun untuk "rechtsstaat" menurut F.J. Stahl mempunyai unsur-unsur : pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; kedua; pemisahan dan pembagian kekuasaan negara (trias politica); ketiga, pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); keempat, adanya peradilan administrasi negara (PTUN) (lihat Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 66 dan Philipus M. Hadjon, 1987 : 80).

Dalam rule of law menurut sistem Anglosaxon terdapat perbedaan dengan rechsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rule of law, tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan umum. Lain halnya dalam rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum. Adapun persamaannya antara lain keduanya (baik rechtsstaat maupun rule of law) mengakui perlindungan HAM, adanya "kedaulatan hukum" atau "supremsi hukum", tidak ada penyalah gunaan kekuasaan atau perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa (absence of arbitrary power).

Melihat kedua sistem tersebut, sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia identik dengan rechtsstaat. Untuk lebih detailnya perlu pula penulis telaah pemikiran-pemikiran ahli hukum Indonesia yang terkenal, yaitu Oemar Seno Adji, Padmo Wahyono, dan Philipus M. Hadjon.

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila (Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69). Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini muncul karena digali oleh para proklamator negara dari adat-istiadat asli masyarakat di Indonesia secara keseluruhan yang heterogen dan majemuk berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika.

Menyambung pengertian Negara Hukum Pancasila tersebut, Padmo Wahyono menelaahnya dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945 (asas ini masih tetap ada meskipun UUD 1945 telah di amandemen, vide Pasal 33). Menurut Padmo Wahyono dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah "rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai" (Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69-70). Jadi menurut beliau, pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan maka harus memperhatikan aspek kepentingan umum dan hak asasi manusia.


 

Selanjutnya Philipus M. Hadjon (1987 : 84-85) mengemukakan bahwa negara hukum di Indonesia tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan rechtsstaat maupun rule of law dengan alasan sebagai berikut ; (1) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenangan atau absolutisme; (2) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; (3) untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheid dan rule of law mengedepankan prinsip equality before the law, sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.

Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut, namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di Indonesia banyak terpengaruh oleh sistem hukum kontinental (rechtsstaat).

Sebagaimana diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1995 : 238) :

"Hukum Kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang — mempertimbangkan substansinya — secara formal masih berlaku, dan sebagian besar kaidah-kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan. Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kekuasaan kolonial sampai pun ke masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak ke arah dan/ atau menurut pola-pola hukum Eropa, dan dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional sebagaimana pernah terkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda — yang sebenarnya juga ikut meliput berbagai aspek yang sifatnya institusional, seperti misalnya peradilan dan pendidikannya — akan berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya dengan beranjak dari awal lagi, dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai….".


 

Oleh karena hal tersebut diatas, Negara Indonesia pun dalam hal mewujudkan suatu negara hukum menginginkan terbentuknya pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana yang dianut negara eropa kontinental.

Keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-negara penganut paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan hak-haknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya.

Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi negara (PTUN) diperlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata badan atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar ketentuan hukum.

Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November 2001 Jo pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tiap-tiap lembaga ini mempunyai kewenangan dan fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga peradilan ini mempunyai kompetensi absolut yang berbeda satu dengan lainnya.


 


 

B. Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat di Indonesia

Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi negara (PTUN) dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, menurut S.F Marbun (1997 : 27) secara filosofis tujuan pembentukan peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.

    Selain itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo (1977 : 69), tujuan dibentuknya peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Sedangkan Sjachran Basah (1985 : 25)
secara gamblang mengemukakan bahwa tujuan pengadilan administrasi negara (PTUN) ialah memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan berwibawa dalam negara hukum berdasarkan Pancasila.

Dengan demikian lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum.


 

    Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN) diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang administrasi negara.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi negara akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Oleh sebab itu eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) sesuatu yang wajib, dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah.


 

Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum bagi masyarakat di Indonesia, sesungguhnya beranjak dari makna Pancasila yang berarti kekeluargaan atau gotong royong, menurut Philipus M. Hadjon (1993 : 85-89)
asas berdasarkan jiwa kekeluargaan ini dapat disebut pula sebagai asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan hubungan fungsional proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.


 

Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan perlindungan hukum preventif berupa pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah memberikan keputusan yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah akan terdorong untuk mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan dapat terjadi dapat dicegah.


 

Sengketa yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1 butir 4 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa :

"Sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara (administrasi negara) antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara (pejabat administrasi negara) baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (keputusan administrasi negara), termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku."


 

Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian. Selain berbentuk keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk perbuatan materiil sepanjang dalam rangka melaksanakan perbuatan hukum publik. Akan tetapi terhadap pelanggaran hukum atas perbuatan hukum publik yang bersifat materiil (onrechmatige overheidsdaad) sampai saat ini penyelesaian sengketanya bukan kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN), karena undang-undang pengadilan administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang nota benenya menjadi kiblat penyelesaian sengketa administrasi di dunia. Meskipun demikian melihat perkembangan ke depan nantinya (dalam rangka reformasi administrasi pemerintahan) menurut penulis suatu hal yang harus dibentuk satu sistem peradilan administrasi negara terpadu, artinya segala sengketa administrasi negara diselesaikan melalui pengadilan administrasi negara (PTUN). Kenyataan ini diperlukan karena disamping esensi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai satu-satunya lembaga penegakan hukum administrasi negara sebagaimana termaktub dalam Konstitusi juga membuat sederhana (simple) penyelesaian sengketa administrasi negara melalui satu pintu lembaga peradilan dan untuk menghindari overlap kewenangan dalam penyelesaian sengketa administrasi negara.


 

Erat kaitannya dengan penegakan hukum administrasi negara, saat ini pemerintah sedang membuat suatu rancangan undang-undang tentang administrasi pemerintahan yang telah memasuki tahap konsep ke XII (6 Februari 2006). Bila kita amati undang-undang tersebut merupakan hukum materiil dari hukum administrasi negara di Indonesia, didalamnya mengatur mengenai dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan dalam menetapkan keputusan, mencegah penyalahgunaan kewenangan dan menutup kesempatan untuk melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Yang terlebih penting undang-undang ini nantinya selain sebagai dasar reformasi birokrasi juga menjadi landasan untuk perubahan mindset dan cultural-set aparatur pemerintah, merubah mentalitas priyayi atau penguasa yang minta dilayani, menjadi sosok aparatur pemerintah yang berperilaku sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang profesional,dan selalu memperhatikan kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan. Bahkan lebih menarik lagi setelah undang-undang sebagai HAN materiil ini disahkan akan menuntut untuk merevitalisasi peranan pengadilan administrasi negara (PTUN). Dengan kata lain undang-undang HAN formil yang ada saat ini (UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004 Tentang PTUN) harus segera direvisi, karena aturan dalam undang-undang administrasi pemerintahan memberi kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN) menjadi lebih luas. Kewenangan itu berupa peranan hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) menetapkan besarnya ganti rugi dan pelaksanaan upaya paksa (termasuk dwangsoom) terhadap pejabat administrasi negara yang dinyatakan bersalah dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik yang merugikan masyarakat dan negara, serta penyelesaian sengketa administrasi negara yang berupa tindakan materiil pejabat administrasi negara (onrechmatige overheidsdaad) pun menjadi kompetensi absolut pengadilan administrasi negara (PTUN).


 

Dalam kaitan dengan pengadilan administrasi negara sebagai salah satu badan peradilan yang menjalankan "kekuasaan kehakiman yang bebas" sederajat dengan pengadilan-pengadilan lainnya dan berfungsi memberikan pengayoman hukum akan bermanfaat sebagai:

  1. Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat;
  2. Stabilisator hukum dalam pembangunan;
  3. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat;
  4. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum (Sjachran Basah, 1985 : 25).


 

Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa di samping peradilan umum, peradilan administrasi negara (PTUN) merupakan sarana perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara hukum di Indonesia.


 

C. Penegakan Hukum Administrasi Negara sebagai Upaya membentuk Pemerintahan Yang Bersih (Good Governance)

    

Indonesia sebagai penganut paham negara hukum modern, dituntut adanya peranan dan fungsi hukum yang secara stabil dan dinamis mampu mengatur berbagai kepentingan tanpa meninggalkan ide dasarnya yaitu keadilan. Hukum yang demikian juga mengandung tuntutan untuk ditegakkan atau dengan kata lain, perlindungan hukum yang diberikan merupakan suatu keharusan dalam penegakan hukum.


 

    Maksud penegakan hukum tersebut diatas, penulis sependapat dengan apa yang diutarakan Abdulkadir Muhammad (2001 : 115). Menurutnya, penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran maka untuk memulihkannya kembali dengan penegakan hukum. Dengan demikian penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum, yang menurut penulis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi.
  2. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian dan atau denda).
  3. Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi administrasi ringan, sedang, dan berat seperti : berupa pencopotan jabatan atau pemberhentian dengan tidak hormat).
  4. Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak dan atau elektronik).
  5. Rekomendasi black list secara politis (kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper test).
  6. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara).


 

Meskipun penegakan hukum administrasi negara sebagaimana tersebut diatas dalam prakteknya jarang dipatuhi, menurut hemat penulis permasalahan semua ini bermuara pada moralitas dari pejabat yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang tidak secara tegas mengatur pengenai pelaksanaan hukuman/ sanksi dari lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN).


 

Permasalahan mengenai moralitas pejabat memang sangat abstrak sehingga sangat sulit dianalisa ketidak patuhan secara hukum pejabat tersebut karena berkenaan dengan kejiwaan (humanistis) dan latar belakang kehidupan pejabat yang bersangkutan. Meskipun demikian, perlu adanya alat kontrol lainnya dalam rangka penegakan hukum administrasi negara ini yaitu peraturan perundang-undangan. Celakanya sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai, yang menurut penulis permasalahan tersebut karena :

  1. Sempitnya pengertian objek sengketa administrasi negara yang dapat diselesaikan di PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004 menyimpang dari pengertian sengketa administrasi negara secara luas yang secara teoritis mencakup seluruh perbuatan hukum publik.
  2. Hukum administrasi negara formil (hukum acara PTUN) sudah terwujud akan tetapi hukum administrasi negara materiil belum terbentuk.
  3. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 belum ditindak lanjuti oleh peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai prosedur dan penerapan hukuman administrasi negaranya.
  4. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi wewenang didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi sehingga menjadi overlap dengan wewenang pengadilan administrasi negara (PTUN), seperti : penyelesaian sengketa perburuhan yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang bersifat administratif, sengketa pajak, dll.


 

Permasalahan-permasalahan ini muncul, menurut penulis disebabkan karena tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang ada. Seharusnya sebelum membuat undang-undang para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) membahas dengan cermat dan seksama serta mengikut sertakan para pakar hukum (terutama pakar hukum administrasi negara), apabila perlu disosialisasikan kepada publik (masyarkat/akademisi/LSM) sebelum disahkan untuk menghindari tumpang tindihnya materi muatan antara undang-undang satu dengan lainnya.


 

Selain itu untuk efektifitas dan efisiensi penegakkan hukum administrasi negara, tidak perlu dibentuk peradilan-peradilan khusus karena disamping menghambur-hamburkan anggaran negara juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam rangka penegakkan hukum. Apabila alasan dibentuknya peradilan khusus hanya karena kurangnya keahlian hakim dalam menyelesaikan perkara tertentu dan lambannya proses berperkara di pengadilan sebetulnya bisa diatasi. Dalam sistem peradilan di Indonesia dimungkinkan keikut sertaan saksi ahli dan hakim ad-hoc karena dibutuhkan disaat lembaga peradilan memerlukan keahliannya untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu dan apabila perlu para hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) diberi kesempatan studi lanjut untuk mendalami pendidikan khusus (spesialisasi) tentang bidang hukum administrasi negara tertentu (misalnya : Hukum Administrasi Bidang Pajak, Hukum Administrasi Bidang HAKI, Hukum Administrasi Bidang Ketenagakerjaan, dll) sehingga alasan kurangnya keahlian hakim bisa diatasi, sedangkan alasan dibentuknya peradilan khusus dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara pun kurang tepat karena dalam praktek justru para pihak yang bersengketa biasanya terlalu lama/ bertele-tele dalam bersidang bahkan ada beberapa pihak yang secara sengaja memperlambat jalannya persidangan dengan maksud-maksud tertentu, seperti : ketika pemeriksaan persiapan meskipun dalam undang-undang diatur maksimal perbaikan gugatan dalam tenggang waktu 30 hari, akan tetapi pihak penggugat tidak bisa memperbaiki gugatannnya secepat mungkin. Selain itu, sama halnya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dimana para pihak tidak bisa mempersiapkan Jawaban/ Replik/ Duplik/ Alat Buktinya secara cepat dimana dalam prakteknya tiap-tiap acara mereka meminta pengunduran waktu sidang satu minggu atau lebih, padahal seandainya para pihak siap segalanya bisa saja dalam satu minggu dua atau tiga acara persidangan sekaligus. Bila para pihak yang bersengketa ada itikad baik mematuhi asas cepat dan sederhana dalam persidangan, tidak akan ada lagi alasan bersengketa melalui peradilan administrasi negara (PTUN) terlalu lama, apalagi semenjak adanya pembatasan Kasasi terhadap sengketa administrasi negara berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya belaku di wilayah daerah yang bersangkutan sesuai Pasal 45 A ayat (2) Huruf C UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan permasalahan tersebut menurut penulis, perlu dibuat suatu klausul tertentu dalam suatu ketentuan hukum acara (dalam revisi UU No. 5 Tahun 1986 Jo UU No. 9 Tahun 2004 nantinya) yang memberi kewenangan hakim untuk melanjutkan jalannya persidangan apabila menurutnya salah satu pihak/ para pihak dianggap memperlambat jalannya proses persidangan, dengan demikian untuk kelancaran/ cepatnya penyelesaian perkara hakim yang bersangkutan apabila mengambil sikap/ keputusan berdasarkan asas cepat dan sederhana dalam persidangan tidak melanggar hukum acara yang ada.


 

    Dengan adanya keterbatasan hukum formil peradilan administrasi negara (PTUN), tidak berarti pula bahwa para penegak hukum harus mengabaikan atau meremehkan kesadaran-hukum mereka sendiri. Hal ini pun berdasarkan suatu teori yang mengira dapat hidup tanpa perasaan-hukum (rechtsgevoel) tiap-tiap individu terutama penegak hukum, tak mungkin akan mampu memberi tafsiran yang tepat tentang hukum, dan apabila teori serupa itu diterapkan dalam bidang peradilan yang bebas, sering akan menyebabkan diambilnya keputusan-keputusan yang tidak adil, juga bertentangan dengan tujuan hukum, sebab tujuan hukum adalah pada asasnya menegakkan KEADILAN.


 

    Untuk merealisasikan keadilan dalam penegakan hukum administrasi negara, yaitu apabila hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) tidak dapat menemukan peraturan dalam undang-undang, maka ia harus mengambil keputusan berdasarkan hukum tidak tertulis yang dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas ini menurut penulis bisa ditemukan dalam Pancasila, UUD 1945, dan kebiasaan dalam pemerintahan (konvensi).


 

Adanya perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap perbuatan hukum publik pejabat administrasi yang melanggar hukum dikaitkan dengan keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan, menurut hemat penulis keadaan seperti ini sebagai wujud dari suatu pemerintahan yang baik dan berwibawa. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik secara teoritis dikenal dengan apa yang disebut good governance. Menurut Adnan Buyung Nasution (1998), konsep good governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan yang menempatkan transparansi, kontrol, dan accountability yang dijadikan sebagai nilai-nilai yang sentral. Dalam implementasi good governance ini hukum harus menjadi dasar, acuan, dan rambu-rambu bagi penerapan konsep tersebut. Artinya, perlu suatu upaya bagaimana rule of law itu sendiri di dalam menentukan suatu good governance. Hal inipun diakui oleh B. Arief Sidharta (1999), bahwa good governance hanya mungkin terwujud dalam negara hukum yang di dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan negara berlaku supremasi hukum.

    Sebagaimana sudah banyak diketahui, konsep good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam sektor kelembagaan di semua level di dalam negara terutama lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berkenaan dengan kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif terhadap lembaga eksekutif pelaksanaan good governance diharapkan dapat terealisasi dengan baik. Kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif dalam hal pemerintah melaksanakan fungsi administrasi negaranya dilaksanakan oleh peradilan administrasi negara (PTUN). Maksudnya adalah peradilan administrasi negara (PTUN) menjadi salah satu komponen dalam suatu sistem yang menentukan terwujudnya good governance.

    Penulis melihat adanya keterkaitan yang erat antara konsep good governance dengan konsep keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN). Keterkaitan ini dapat diketahui dengan memahami prinsip-prinsip utama dari good governance itu sendiri dan fungsi utama dari pengadilan administrasi negara (PTUN). Meskipun unsur-unsur dari good governance banyak yang masih memberikan kriteria masing-masing, tetapi pada intinya ada lima prinsip utama dalam good governance, yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (openess), penegakan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level playing field (perlakuan yang adil atau perlakuan kesetaraan). Prinsip terakhir ini sering disebut dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia.


 

    Apabila konsep good governance disambung-hubungkan dengan konsep supremasi hukum dan konsep pemerintahan yang baik dan bersih dalam hukum administrasi negara secara normatif, maka akan ditemukan persamaannya dengan konsep rechtmatigheid van bestuur yang dimaknakan sebagai "asas keabsahan dalam pemerintahan" atau asas menurut hukum. Jika perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi itu onrechtmatigheid, maka perbuatan pejabat administrasi tersebut telah "melanggar hukum".


 

    Makna good dalam good governance disini menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 121) mengandung dua pengertian; pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itupun beliau memaknai governance sebagai institusi yang terdiri dari tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Dengan demikian ketiga domain ini dalam upaya mewujudkan good governance saling berinteraksi dan terkoordinasi serta dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dengan baik.

    Beranjak dari ketiga domain tersebut, sektor negara atau pemerintah dalam arti luas merupakan sektor yang sangat kuat, lain dengan sektor swasta dan masyarakat yang posisinya lebih lemah karena segala kebijakan ditentukan oleh sektor negara tersebut. Oleh karena itu, sektor swasta dan masyarakat ini mendapat perlindungan hukum dari pengadilan administrasi negara (PTUN) apabila ada perbuatan hukum publik dari pejabat administrasi yang merugikan hak-haknya. Perlindungan hukum ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :

"Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau direhabilitasi."


 

    Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat adanya unsur penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia dalam undang-undang peradilan administrasi negara (PTUN) ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ke-4 dan ke-5 dari lima prinsip good governance, sedangkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan juga merupakan unsur penting dalam hal penyelenggaraan pemerintahan.


 

    Menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 135-136), akuntabilitas merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pemerintahan, akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misinya. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya pun dimintai pertanggungjawabannya ketika melakukan perbuatan hukum publik, terlebih apabila perbuatannya itu melanggar hukum. Pertanggungjawaban ini secara hukum dapat diajukan ke pengadilan administarasi negara (PTUN) sebagai lembaga hukum yang melaksanakan fungsi judicial control.


 

    Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good governance merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan perbuatan hukum publik oleh badan atau pejabat administrasi negara merupakan bentuk perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena dalam hal badan atau pejabat administrasi negara membuat suatu kebijakan atau keputusan administrasi negara maka rakyat yang mempunyai kepentingan atas kebijakan atau keputusan tersebut harus mengetahui secara transparan atau terbuka. Misalnya dalam perekrutan pegawai negerai sipil atau penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi negeri harus dibuat dalam suatu keputusan administrasi yang sifatnya transparan dan terbuka bagi publik untuk mengetahui proses dan hasil perekrutan tersebut. Hal ini pun nantinya ada suatu pertanggung jawaban secara hukum, bila ada pihak yang merasa dirugikan atas keputusan administrasi negara tentang hasil penerimaan tadi.


 

D. Penutup

    

Dapatlah disimpulkan disini bahwa eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena pengadilan administrasi negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan hukum publik badan atau pejabat administrasi negara. Kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam good governance pada dasarnya menjadi pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan yaitu mencegah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan profesional dalam rangka menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan kepastian hukum dalam masyarkat.


 

PRAKTEK HAK ULAYAT LAUT DI IRIAN JAYA)

A. PENDAHULUAN

Secara konsepsional kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Hak Ulayat Laut merupakan terjemahan dari bahasa Inggeris, sea tenure. Seorang pakar kelautan, Laundsgaarde menyebutkan bahwa istilah sea tenure mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut. Selanjutnya Wahyono, mengutip Sudo (1983) mengatakan bahwa sea tanure merupakan suatu sistem, dimana beberapa orang atau kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat eksploitasinya termasuk melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan (over exploitation). Oleh karena itu melengkapi batasan Sudo, Akimido (1991) mengatakan bahwa hak-hak kepemilikan (property right), mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use).

Pengetahuan masyarakat lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Gadgil, et al., 1993). Konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Mitcheli, 1997).

Hak ulayat laut (sea tenure) merupakan seperangkat aturan atau praktek pengelolaan wilayah laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya, yang menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumber daya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumber daya yang diperkenankan. Hak ulayat laut mengacu pada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul dalam institusi bersama. Konsep kepemilikan jika diterapkan pada sumber daya mengandung arti sebagai suatu kelembagaan sosial primer yang memiliki susunan dan fungsi untuk mengatur sumber daya yang lebih didasarkan pada kebiasaan, larangan-larangan dan kekeluargaan.

Masyarakat Nelayan yang mendiami kawasan perairan pantai utara Irian Jaya merupakan salah satu daerah yang mempunyai Hak ulayat Laut dalam menjaga dan mengeksploitasi sumber daya laut. Suatu kesimpulan yang membahas mengenai HUL mengatakan bahwa peubah-peubah pokok dalan kajian HUL meliputi: wilayah, unit pemilik sosial, legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement).

Wilayah dalam konteks HUL tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga pada eksklusivitas wilayah. Ekskluvitas wilayah ini dapat juga berlaku pada sumberdaya kelautan, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasinya, dan batas-batas yang bersifat temporal (Satria, 2002).

B. PEMBAHASAN

  1. Kepemilikan Wilayah

Masyarakat nelayan yang mendiami kawasan perairan pantai utara Irian Jaya (Masyarakat Nelayan Tobat dan Engros (perairan teluk Yotefa), Nelayan Demta (perairan Teluk Demta), nelayan indokisi dan Tablasafu (perairan teluk tanah merah). ) umumnya mengenal praktek kepemilikan wilayah perairan pantai sebagai tempat mencari ikan dan tempat melakukan eksploitasi sumber daya kelautan.

Kepemilikan suatu kawasan wilayah laut bagi masyarakat perairan pantai utara Irian Jaya didasarkan atas beberapa faktor diantaranya faktor ekonomi, faktor perhubungan. Selain dari beberpa faktor tersebut faktor kepercayaan (aspek kepercayaan) juga merupakan faktor dalam kepemilikan wilayah laut. Penguasaan suatu kawasan perairan tertentu yang berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat pada umumnya berlaku di semua masyarakat nelayan kecuali masyarakat nelayan di desa Bindusi Kecamatan Biak timur, Kabupaten Biak Numfor, yang penguasaan wilayah laut semata-mata karena faktor ekonomi.

Bromley dan Cernea (1989) menyatakan bahwa pemilikan dan penguasaan sumber daya alam merupakan suatu hak, kewenangan dan tanggung jawab pribadi pemilik dalam hubungannya dengan pribadi pihak lain terhadap pemanfaatan suatu sumber daya alam. Selanjutnya Wahyono, mengutip Sudo (1983) mengatakan bahwa sea tanure merupakan suatu sistem, dimana beberapa orang atau kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat eksploitasinya termasuk melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan (over exploitation). Oleh karena itu melengkapi batasan Sudo, Akimido (1991) mengatakan bahwa hak-hak kepemilikan (property right), mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use).Konotasi semacam ini tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi juga mengacu pada tehnik-tehnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan.

Berhubungan dengan hal tersebut praktek kepemilikan wilayah perairan laut oleh kelompok-kelompok masyarakat suku yang mendiami wilayah perairan pantai utara Irian Jaya dalam perkembangannya semakin diperkuat oleh kehadiran nelayan pendatang yang mengoperasikan teknologi penangkapan ikan modern, dengan kemampuan tingkat eksploitasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan alat penangkapan ikan yang digunakan masyarakat setempat (kasus masyarakat nelayan Tobati, Enggros dan Bindusi).

Pola pemilikan dan penguasaan wilayah perairan laut pada masyarakat nelayan yang mendiami wilayah perairan pantai utara irian jaya adalah Milik Masyarakat atau Komunal (common property) yaitu suku yang disebut sebagai suku laut. Kelompok masyarakat ini yang telah melembaga, dengan ikatan norma-norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan Sumer Daya Laut tersebut dan merupakan cikal bakal pendiri desa atau orang yang pertama kali mendiami suatu kawasan perairan tertentu (suku Tiert Urpiji di Kampung Ambora (Demta), Suku Muris Kecil (Demta).

Penguasaan wilayah perairan laut tertentu oleh kampung atau desa, didorong oleh adanya kepentingan pemerintah setempaat untuk melindungi nelayan setempat dari persaingan yang tidak seimbang dalam mengeksploitasi sumber daya laut antara nelayan pendatang dan nelayan setempat, kecuali itu, tindakan ini juga didorong oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan arti penting upaya pelestarian lingkungan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat.

Berdasarkan kajian Wahyono dkk (2000) tentang HUL di kawasan timur Indonesia ternyata menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan yang mencolok yakni klaim terhadap wilayah HUL hanya meliputi wilayah penangkapan (fishing ground) yang secara tradisional dieksploitasi oleh kelompok-kelompok masyarakat nelayan setempat. Secara umum diilustrasikan bahwa batas-batas wilayah HUL dihubungkan dengan kondisi darat dan laut yang paling berdekatan dari wilayah laut yang diklaim misalnya teluk, tanjung, gunung, bukit, terumbu karang, pulau-pulau, garis pasang surut air laut (meti), perairan dangkal, laut dengan jarak tertentu dari garis pantai. Di samping batasan yang sifatnya alamiah ini, di Maluku sistem pembatasan juga dilakukan dengan cara pemberian patok.

Tabel tanda-tanda batas Wilayah Hak Ulayat Laut (HUL) di Irian Jaya

Tanda Batas

Keterangan 

Teluk, tanjung, gunung, pantai, sungai, batas desa/kampung, terumbu karang, pohon besar, dan pasir pantai

Tanda-tanda HUL ini dipakai oleh masyarakat nelayan Endokisi, kampung Tobati dan Enggros, Demta dan Tablasufa serta kampung Kayu Batu, Kayu Pulo


 

Disamping penguasaan wilayah perairan oleh suku-suku kecil (suku keret), suku-suku besar dan kampung atau desa, dikenal pula pemilikan laut pada lokasi tertentu, yaitu tempat dilangsungkannya upacara adat kelautan, seperti upacara adat memanggil ikan dan upacara Pele karang.
Pele karang adalalah tempat dilangsungkannya upacara adat laut, yakni pelanggaran pengambilan ikan pada tempat tertentu selama kurun waktu tertentu (enam sampai satu tahun). Upacara adat ini biasanya dilakukan untuk menghadapi upacara-upacara adat yang memerlukan jumlah ikan yang banyak, seperti pelantikan Ondoafi. Wilayah perairan tempat dilangsungkan upacara adat pele karang ini adalah milik suku laut.

  1. Unit Sosial Pemegang Hak

Unit sosial pemegang hak ulayat laut adalah suku-suku laut terbesar, kemudian sebagian dialihkan hak kepemilikannya kepada suku-suku kecil (keret), dan pada perkembangannya selanjutnya, desa atau kampung juga mengklaim wilayah perairan laut dengan pertimbangan untuk melindungi penduduk setempat dari tekanan-tekanan nelayan pendatang serta pertimbangan pelestarian lingkungan dari eksploitasi yang berlebihan maupun penggunaan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan.

Pemahaman mengenai pemegang hak wilayah laut pada kawasan perairan menjadi penting terutama dalam hal melakukan eksploitasi laut dengan menggunkan alat tangkap yang modern atau alat tangkap masyarakat setempat. Pemahaman mengenai unit pemegang hak ini dilakukan juga untuk menghindari konflik yang terjadi antara nelayan-nelayan pendatang dengan nelayan setempat serta untuk perizinan dalam melakukan eksploitasi laut.

Sistem Pengelolaan Hak Ulayat Laut di wilayah perairan pantai Utara Irian Jaya

Organisai pelaksana 

Unit pemegang hak 

Eksluvisitas Aturan Pengelolaan 

Dewan Adat 

Ondoafi 

Jenis sumberdaya, alat tangkap, pelaksana penangkapan dan pelestarian lingkungan laut


 

  1. Peralihan Hak Kepemilikan wilayah Laut

Prose peralihan hak kepemilikan wilayah laut yang dilakukan masyarakat nelayan perairan pantai Utara Irian Jaya pada umumnya dilakukan dengan cara proses kawin yang dilakukan antara suku laut dan suku darat. Terjadinya proses kawin antara suku darat dan suku laut bermula dari adanya pertukaran barang (barter). Suku-suku darat yang menghasilkan produk-produk pertanian (sagu, talas, ubi jalar (betatas), dan sayur-sayuran, sedangkan suku laut menghasilkan ikan. Untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing maka terjadilah pertukaran barang tersebut. Intensitas inilah yang menyebabkan terjadinya perkawinan antara suku darat dan suku laut. Selain proses kawin adapun tindakan penekanan yang dilakukan kepada suku Demena melalui hobatan atau kekuatan magis.

Dari proses peralihan inilah maka suku laut yang awalnya tidak memiliki wilayah darat kini sudah memiliki wilayah darat dan begitu sebaliknya suku darat yang pada awalnya tidak memiliki wilayah laut kini sudah memiliki wilayah laut.

  1. Dampak dari Peralihan Kepemilikan Wilayah Laut

Implikasi dari proses kawin antara suku darat dan suku laut ini menjadikan identitas mereka menjadi tidak jelas. Contohnya, suku-suku yang tinggal di perairan Teluk Yotefa dalam kondisi sekarang ini sulit diketahui identitasnya, apakah termasuk suku darat atau suku laut. Pada masyarakat Tobati dan Enggros misalnya, terdapat nama-nama kepala suku babi (suku darat) seperti suku Hai, Mano dan Merauje, tetapi mereka tinggal di laut. Kepala suku ikan yakni Sanyi, dan kepala suku jaring yakni Drunyi, mereka tinggal di darat dan menguasai tanah darat yang luas, dan bahkan mereka pun terlibat dalam proses transaksi jual-beli tanah adat dengan kaum pendatang. Suku dawir yang menyatakan dirinya suku darat berkuasa atas darat dan hutan bakau disekitar kampung Tobati, meskipun mereka tinggal di laut.

  1. Legalitas Hak Ulayat Laut

Legalitas hak ulayat laut adalah tingkat keabsahan dari hukum adat laut. Keabsahan hukum adat kelautan sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya pengakuan aturan-aturan, norma-norma dan pranata sosial yang menyangkut segala aspek pengelolaan wilayah laut oleh masyarakat setempat. Berbicara mengenai aspek legalitas hak ulayat laut juga menyangkut soal bagaimana aturan-aturan adat itu di buat, siapa yang memiliki kewenangan untuk memutuskan aturan tersebut, dan bagaimana aturan-aturan itu dilaksanakan..

Aturan-aturan hukum adat tentang hak ulayat laut akan dilaksanakan apabila ada konflik-konflik yang terjadi antara nelayan pendatang dan nelayan setempat terkait dengan masalah izin dalam melakukan eksploitasi laut atau karena ada upacara-upacara adat perkawinan atau upacara kematian.

Dalam kaitanya dengan praktik hak ulayat laut, hukum adat ini diberikan kepada tempat-tempat yang sedang dilindungi. Fungsi adat ini, dahulunya tampak bukan semata-mata untuk mengumpulkan ikan dengan cara melarang seseorang untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan ditempat yang dilindungi, tetapi juga berkaitan dengan sistem kepercayaan, yakni untuk menjaga kesucian dan kekeramatan tempat tinggal leluhur suku-suku besar penguasa laut.

    Dalam perkembangannya sehubungan dengan semakin meningkatnya komersialisasi terhadap produk sumberdaya laut, maka aturan-aturan adat pun berubah, demikian juga bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi, umumnya menyangkut soal pelanggaran wilayah penangkapan, atau soal perizinan untuk mengoperasikan alat tangkap ikan baru yang akan dioperasikan.


 

KESIMPULAN :

  • Variabel-variabel pokok dalam kajian Praktek Hak Ulayat Laut di Irian Jaya adalah menyangkut :
    • Kepemilikan wilayah
    • Unit social pemegang hak
    • Legalitas (legalitiy) hak ulayat laut beserta pelaksanaannya (enforcement)
  • Wilayah HUL hanya meliputi wilayah penangkapan (fishing ground) yang secara tradisional dieksploitasi oleh kelompok-kelompok masyarakat nelayan setempat. Secara umum diilustrasikan bahwa batas-batas wilayah HUL dihubungkan dengan kondisi darat dan laut yang paling berdekatan dari wilayah laut yang diklaim misalnya teluk, tanjung, gunung, bukit, terumbu karang, pulau-pulau, garis pasang surut air laut (meti), perairan dangkal, laut dengan jarak tertentu dari garis pantai.
  • Unit social pemegang hak Di Irian Jaya, yang dilibatkan adalah ondoafi (kepala suku), kepala desa dan gereja. Keputusan-keputusan terpenting mengenai aturan kelautan dan perikanan terletak di tangan Ondoafi. Kewenangan dari ondoafi dalam pengelolaan sumberdaya laut adalah jenis sumberdaya laut yang boleh dan tidak boleh di tangkap, jenis alat tangkap yang digunakan, pihak-pihak yang diizinkan dan tidak diizinkan dalam penangkapan sumberdaya laut dan pengaturan waktu-waktu yang dapat dan tidak dapat dimanfaatkan untuk penangkapan serta perlindungan laut.
  • Legalitas hak ulayat laut adalah tingkat keabsahan dari hukum adat laut. Keabsahan hukum adat kelautan sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya pengakuan aturan-aturan, norma-norma dan pranata sosial yang menyangkut segala aspek pengelolaan wilayah laut oleh masyarakat setempat


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J.Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta

Satria, Arif.. 2002b. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Penerbit Cidesindo

Saad S. 2000. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (eksistensi dan prospek pengaturannya di Indonesia). [Disertasi] Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta

Wahyono, Ary., A. Rahman Patji., D.S. Laksono., Ratna, Indrawasih., Sudiyono., dan Sumiati, Ali. 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo.


 

.

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam

Peraturan Perundang-undangan RI yang mengatur Kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam

  1. Undang Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera.

    Undang Undang ini menjamin sepenuhnya hak penduduk Indonesia atas wilayah warisa adat mengembangkan kebudayaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 6 (b) menyatakan : ….hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku budayanya.

  2. Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960

    Dasar hukum yang dapat digunakan untuk memberikan hak pengelolaan terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat hukum adat adalah Undang Undang Nomor 5 Tahu 1960 pasal 2 ayat 4 (UUPA), Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan – ketentuan peraturan pemerintah. Dengan demikian hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari pendelegasian wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Walaupun dalam masyaraka hukum adat diposisikan sebagai bagian subordinat dari negara, dengan pernyataan pasal ayat 4 ini membuktikan bahwa keberadaan masyarakat adat tetap tidak dapat dihilangka

  3. Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang

    Bentuk pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan hukum adat juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Penjelasan pas 4 ayat 2 dari Undang Undang tersebut menyatakan bahwa Penggantian yang layak diberikan pada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaa sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan dan atau ruang yang dapat mebuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas dasar hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.

  4. Undang Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan

    Pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan, dijumpai ada satu pasal yang berkenaan dengan hukum adat yaitu pasal 3 ayat 3 yang menyatakan bahwa pelaksanaan atas ketentuan tentang hak menguasai dari negara terhadap air tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat sepanjang yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

  5. Undang Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.

    Masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk memungut hasil hutan dari hutan ulayat untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya. Peraturan- peraturan yang mengatur hak memanfaatkan sumberdaya hutan dapat dijelaskan antara lain pada Pasal 17 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan : Pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Saat ini undang-undang ini telah diganti dengan terbitnya Undang-Undang Kehutanan no 41 tahun 1999. Pada pasal 1 ayat 6 dalam ketentuan umum dikatakan bahwa: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyatakat hukum adat Sehingga walaupun hutan adat diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara tetapisebenarnya, negara mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 67 ayat 2 dikatakan; Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah

  6. Undang-undang no 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity)

    Dalam pasal 8 mengenai konservasi in-situ dalam huruf j dikatakan;… menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli (masyarakat adat) dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan koservasi dan pemanfaatan seara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semcam itu. Selanjutnya dalam pasal 15 butir 4 dikatakan;Akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya).

  7. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur Panitia Ajudikasi yang melakukan pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai suatu obyek hak antara lain dalam penjelasan Pasal 8c dikatakan…memungkinkan dimasukkannya Tetua Adat yang mengetahui benar riwayat/kepemilikan bidang-biang tanah setempat dalam Panitia Ajudikasi, khususnya di daerah yang hukum adatnya masih kuat. Sedangkan dalam memberikan pedoman bagaimana Pembuktian Hak Lama dalam pasal 24 ayat 2 dikatakan Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1, bukti tertulis tau keterangan yang kadar kebenaranya diakui Tim Ajudikasi ), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan penguasan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut…dengna syarat; a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka.. serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dilakukan dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/keluruhan yang bersangkutan atau pihak-pihak lainnya. Mengenai bentuk penerbitan hak atas tanah dikenal dua bentuk hak 1. Hak yang terbukti dari riwayat tanah tersebut didapat dari tanah adat mendapatkan Pengakuan hak atas tanah oleh Pemerintah sedangkan yang ke 2 adalah Hak yang tidak terbukti dalam riwayat lahannya didapat dari hak adat tetapi dari tanah negara maka mendapatkan pemberian Hak atas tanah oleh Pemerintah. Sehingga jelaslah posisi pemerintah dalam mengakomodir hak-hak atas tanah adat yaitu bukan memberikan hak tetapi mengakui hak yang ada.
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 .

    Pada Pasal 27 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi disebutkan bahwa : Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Dengan di syahkannya UU Kehutanan no 41 tahun 1999, maka PP 6 harus diganti dan saat ini sedang disiapkan RPP Hutan Adat (atau dengan nama lain) dengan memberikan Hak Pengelolaan kepada Masyarakat Adat untuk mengelola sumber daya alamnya.

  9. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1976

    Kemudian pada Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1976 tanggal 13 Januari 1976 tentang sinkronisasi pelaksanan tugas bidang keagrarian dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Bagian VI angka 20 disebutkan bahwa Dalam hal sebidang tanah yang dimaksudkan pada (ad ii) terdapat tanah yang dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan suatu hak yang sah, maka hak itu dibebaskan terlebih dahulu oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak tersebut untuk kemudian dimohonkan haknya dengan mengikuti tatacara dalam peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku.

  10. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Permen yang dijanjikan Menteri Agraia untuk mengakui keberadan tanah ulayat dalam saresehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini diterbitkan tgl 24 Juni 1999 mendefinisikan Hak Ulayat dalam pasal 1 ayat 1 sbb: Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turuntemurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkuta


     

HAK TANGGUNGAN

  1. DEFENISI HAK TANGGUNGAN

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PokokAgraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Beranjak dari definisi di atas, dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut.

  1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
  2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
  3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
  4. Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.
  5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai definisi Hak Tanggungan tersebut, pada kesempatan ini akan diuraikan definisi mengenai hipotek sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata. Dalam Pasal 1162 KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa: Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Dengan berpatokan pada definisi tersebut, unsur pokok yang terkandung di dalamnya adalah

  1. hipotek adalah suatu hak kebendaan;
  2. objek hipotek adalah benda-benda tak bergerak;
  3. untuk pelunasan suatu perikatan.


     

C. ASAS-ASAS HAK TANGGUNGAN

Tujuan mempelajari asas hak tanggungan adalah untuk membedakannya dengan hak-hak tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UU Hak Tanggungan yang baru ini, termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, asas-asas tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

  1. Hak Tanggungan Memberikan Kedudukan Hak yang Diutamakan

Mencermati pengertian Hak Tanggungan yang terdapat pada Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Menelaah dengan saksama terhadap kalimat "kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu kepada kreditor lain", hal ini tidak dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 maupun penjelasannya, namun kalimat tersebut dapat diketemukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Hukum Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa:

Bahwa jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Selain dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan yang diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa:

Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan: (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objekHak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, walaupun kreditor tertentu lebih didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya, akan tetapi tetap mengalah kepada piutang-piutang negara. Dalam ketentuan piutang negara yang harus didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya tersebut, maka dasar hukumnya dapat diketemukan dalam UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dijumpai ketentuan yang menentukan tagihan pajak mempunyai hak mendahului lainnya. Hal ini sesuai Pasal 21 UU Nomor 9 Tahun 1994 dinyatakan bahwa:

Hak mendahulu tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap:

  1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang;
  2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
  3. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
  1. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-bagi

Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan bahwa:

Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat (1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk pembayarannya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan. Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan

  1. Hak Tanggungan Hanya Dibebankan pada Hak Atas Tanah yang Telah Ada

Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah ada diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan. St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa : (ST. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 25).

Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari.

Asas,ini juga merupakan asas yang sebelumnya sudah dikenal di dalam hipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan ada di kemudian hari adalah batal.

  1. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan selain Atas Tanahnya juga Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Tersebut

Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada tanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan:

Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut.

  1. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Juga Atas Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang Baru akan Ada di Kemudian Hari

Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4) memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.

Lebih jauh St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa dalam pengertian "yang baru akan ada" ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut

Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak Tanggungan di atas, dalam kenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 1165 KUH I Perdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebani pula dengan hipotek.

  1. Perjanjian Hak Tanggungan adalah Perjanjian Accessoir

Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir

Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:

Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas, secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 4 'Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

  1. Hak Tanggungan Dapat Dijadikan Jaminan untuk Utang yang Akan Ada

Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa:

Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada di kemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.

Sementara itu, sikap hipotek sama dengan sikap yang terdapat dalam UUHT mengenai dapatnya Hak Tanggungan dibebani terhadap utang yang akan ada di kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakan bahwa: Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah utang untuk mana is telah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam kata. Jika utang bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah harga-taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya di dalam aktanya.

Beranjak dari ketentuan Pasal 1176 KUH Perdata di atas, maka penegasan dapat dilihat dalam Putusan H.R. 30 Januari 1953 N.J. 1953, 578 yang membenarkan bahwa hipotek boleh diberikan untuk menjamin utang yang pada saat hipotek itu dipasang, belum seluruhnya diserahkan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan debitor.

  1. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang

Kelebihan dari Hak Tanggungan adalah berlakunya asas bahwa Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.

Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) di atas, maka dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Sering kali terjadi debitor berutang kepada lebih dari satu kreditor masing-masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang berlainan, misalnya kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan. Piutang pada kreditor tersebut dijamin dengan suatu Hak Tanggungan kepada semua kreditor dengan satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama. Bagaimana hubungan para kreditor satu dengan yang lain, diatur oleh mereka sendiri, sedangkan dalam hubungannya dengan debitor dan pemberi Hak Tanggungan kalau bukan debitor sendiri yang memberinya, mereka menunjuk salah seorang kreditor yang akan bertindak atas Hama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menghadap PPAT dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan.

9. Hak Tanggungan Mengikuti Objeknya dalam Tongan Siapa pun Objek Hak Tanggungan Itu Berada

Asas Hak Tanggungan memiliki berbagai kelebihan karenaundang-undang memberikan prioritas terhadap pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang telah diuraikan di atas, adalah asas Hak Tanggungan mengikuti objek di manapun objek itu berada Hal ini sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.

Menurut St. Remy Sjahdeini, hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) ini merupakan materialisasi dari asas yang disebut droit de suite atau zaakgevolg. Asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata."

Sejalan dengan pendapat St. Remy Sjahdeini di atas, maka menurut Mariam Daruz Badrulzaman bahwa : Asas ini seperti halnya dalam Hipotek, memberikan hak kebendaan (zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan dengan hak perorangan (persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak. Artinya, hak ini dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Pemegang hak tersebut berhak untuk menuntut siapa pun juga yang mengganggu haknya itu. Dilihat secara pasif setiap orang wajib menghormati hak itu. Sedangkan hak perorangan adalah relatif. Artinya, hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu saja. Hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap debitor itu saja. Secara pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik dari hak itu.

10. Di atas Hak Tanggungan Tidak Dapat Diletakkan Sita oleh Peradilan

Alasan kehadiran asas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan merupakan respons terhadap seringnya peradilan meletakkan sita terhadap hak atas tanah yang di atasnya diletakkan hipotek. St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa:

Memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenankannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditor pemegang Hak Tanggungan.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh St. Remy Sjahdeini di atas, maka dalam perkembangannya sebelum diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 telah direspons oleh Mahkamah Agung dengan putusannya Nomor 394k/ Pdt/ 1984 tanggal 31 Mei 1985 dengan amar putusannya berbunyi bahwa barangbarang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik) tidak dapat diletakkan sita jaminan.

11. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan atas Tanah Tertentu

Asas yang berlaku. terhadap Hak Tanggungan yang hanya dapat dibebankan hanya atas tanah tertentu, diilhami oleh asas yang juga berlaku di dalam hipotek, yaitu yang diatur Pasal 1174 KUH Perdata. Sementara itu asas ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c UU Nomor 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk meletakkan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa: Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Menurut St. Remy Sjahdeini bahwa: Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelas mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya.

Beranjak dari uraian yang dikemukakan oleh St. Remy Sjandeini mengenai asas tersebut, lebih lanjut beliau mengatakan bahwa: Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas "benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut", Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang baru akan ada, sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan-dengan tanah itu, juga karena baru akan ada di kemudian hari, hal itu berarti asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

12. Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan

Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib didaftar, hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan:

Bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 13 di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: Adalah tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah.

Lebih jauh St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa asas publisitas ini juga merupakan pasal hipotek sebagaimana ternyata dalam Pasal 1179 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa pembukuan Hipotek harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotek yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan apa pun, juga tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijaminkan dengan Hipotek).

13. Hak Tanggungan Dapat Diberikan dengan Disertai Janji-janji Tertentu

Asas Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai berikut:

Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain:

  1. janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
  2. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
  3. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji;
  4. janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
  5. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji;
  6. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa, objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
  7. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
  8. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untukpelunasan piutangnya apabila objekHak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
  9. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
  10. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.


 

Berangkat dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) di atas, maka menurut St. Remy Sjahdeini, janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).

14. Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan untuk Dimiliki Sendiri oleh Pemegang Hak Tanggungan Apabila Cedera Janji

Asas Hak Tanggungan yang mencanturnkan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji, sebenarnya beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding Pengaturan asas Hak Tanggungan yang tidak boleh diperjanjikan untuk dimilik sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji diatur Pasal 12 U I I Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji, batal demi hukum.

Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa, ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).

Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini" mengatakan:

Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugi kannya.

15. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti

Pencantuman asas Hak Tanggungan ini berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:

Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan sebagai berikut: Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.

Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atau yang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang terdapat di dalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek, pemegang Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalam pemberian Hak Hipoteknya.

Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT atau dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah."