Kamis, 24 Februari 2011

Pengantar HUkum Acara Pidana

Pengertian Hukum Acara Pidana (Hukum Formiil) 
  • dikaji dari prosesnya. Hukum Acara Pidana merupakan aturan hukum yang mengatur hak dan wewenang dari alat negara/aparat penegak hukum untuk memproses pelanggaran terhadap hukum pidana, disamping hak dan kewajiban tersangka, terdakwa maupun terpidana dan narapidana selama menjalani proses pemeriksaan maupun menjalani pidana.
  •  dikaji dari pendekatan sistem, Hukum acara Pidana adalah merupakan sistem kerja bertahap, dimana proses penegakan hukum dimulai dari proses pemeriksaan pendahuluan, pemerikasan pengadilan sampai pelaksanaan putusan, dimana pada masing-masing tahapan proses pemeriksaan, terdapat prinsip dasar mengenai bagaimana tersangka, terdakwa maupun terpidana diperlakukan sebagai subjek dan bukan sebagai objek dengan tetap mengutamakan asas-asas hukum yang berlaku di dalam hukum acara pidana.
HUBUNGAN ANTARA HUKUM PIDANA MATERIEL, HUKUM PIDANA FORMIL DAN HUKUM PELAKSANA PIDANA
Hukum Pidana Materiil
1. Tindak Pidana
2. Pertanggugjawaban pidana
3. Pidana

Hukum Pidana Formil
1. pedoman/dasar untuk membuat terang tindak pidana
2. menemukan "siapa" pelaku tindak pidana, dan apakah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana
3. memproses pelaku"
  • sebagai tersangka/terdakwa oleh penyidik dan atau penuntut umum serta dapat dinyatakan bersalah atau tidak oleh pengadilan sebagai terpidana
  •  Dipidana, jika sesuai kesalahan yang terbukti dan dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau membebaskannya dari pidana yang diacamkan.
 Hukum Pelakasana Pidana:

1.melaksanakan putusan
2.mengawasi pelaksanaan putusan.

Hukum Acara Pidana pada prinsipnya menentukan 2 hal penting untuk mencari "kebenaran materiil" yakni :
a.pemeriksaan penyidikan atau pemerikasaan pendahuluan atau pemerikasan sebelum didepan sidang pengadilan dan
b. pemerikasaan di depan sidang pengadilan:
    1. Pemeriksaan Pendahuluan atau penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan barang bukti, dan
    2. pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemerikasaan oleh hakim untuk menentukan pendapat berdasarkan keyakinan dari hasil pembuktian sehingga diperoleh alasan untuk menjatuhkan putusan berupa :
a. pembebasan ("Vrijepraak)
b. penjatuhan pidana jika ada kesalahan, dan
c. lepas dari tuntutan hukum ("Onslag van rechtsvervolging).

Senin, 21 Februari 2011

Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal :
  1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1) sampai ayat  (4) UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU PTPK 1999).
  2.  Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat 5 UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (5) UU PTPK 1999) bahkan kesempatan banding tidak ada.
  3. Perumusan delik dalam UU PTPK 1971 yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971; Pasal 2 dan 3 UU PTPK 1999
  4. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Ulasan mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana tersebut di atas dilanjutkan dibawah ini. Pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU PTPK 2001.
Meskipun di negeri Belanda dan Indonesia, yang hukum pidananya bersumber pada negeri Belanda, dianut asas keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran, kadang-kadang unsur kesengajaan tidak diutamakan seperti halnya Wet op de economische delicten 1950 di negeri Belanda dan UU TPE di Indonesia mengenai pemidanaan orang yang tidak dikenal (onbekende overtreder) (Pasal 6 UU TPE).
Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik korupsi, tetapi dapat juga dilakukan pemeriksaan sidang dan putusan dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (putusan in absentia) sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai dengan 4 UU PTPK 1971 (Pasal 38 ayat (1),(2),(3)dan (4) UU PTPK 1999).
Begitu pula bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan penuntut umum dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita (Pasal 23 ayat (5) UU PTPK 1971). Kesempatan banding dalam putusan ini tidak ada. Orang yang telah meninggal dunia tidak mampu melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu ia masih hidup, tetapi pertanggungjawabannya setelah meninggal dunia dibatasi sampai pada perampasan barang-barang yang telah disita.
Begitu pula dalam perumusan Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971, terdapat unsur “langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara” bahkan pada sub b ada tambahan kata “dapat” merugikan keuangan negara. Ini menunjukan bahwa “kerugian negara” yang timbul akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu hal yang dipertanggungjawabkan sama dengan strict liability karena “langsung atau tidak langsung (dapat) merugikan keuangan negara” merupakan perumusan yang amat luas artinya sehingga dengan mudah penuntut umum membuktikannya. Kata-kata “langsung dan tidak langsung” telah dihapus dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK 1999. Scrict liability ialah suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian adanya sengaja dan alpa pembuat delik.

A.Z. Abidin menyebut tiga alasan diterimanya scrict liability terhadap delik-delik tertentu.
  1. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati.
  2.  Pembuktian mens rea (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik serupa sangat sulit.
  3. suatu tingkat tinggi “bahaya sosial” dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut scrict liability.
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana perlu dibahas karena pada delik korupsi dikenal semacam alasan pembenar, yang tercantum dalam pasal 17 ayat (2) UU PTPK 1971 berikut ini. “kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan demi kepentingan umum”.
Dalam hal ini,dikemukakan pendapat para penulis hukum pidana khususnya pertanggungjawaban pidana, baik yang memisahkan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana maupun tidak.
Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut.
Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut.
“Eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande, van een toeekeningsvatbaar persoon” (Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum,dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya)
Satochid Kartanegara mengatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang sedangkan pertanggungjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya, Sathocid mengatakan, seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika :
  1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya, juga akan mengerti akan akibatnya.
  2.  jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat menentukan hendaknya atas perbuatan yang dilakukan.
  3. orang itu sadar dan insaf bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat dan tatasusila.
Simons, mengatakan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid) dapat dipandang sebagai keadaan psikis sedemikian rupa sehingga si pembuat atau pelaku mampu untuk menginsyafi atau mengetahui bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum dan sesuai dengan keinsyafan  itu mampu untuk menentukan kehendaknya

Roeslan Saleh mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya terdakwa, pada terdakwa harus ada :
  • Melakukan perbuatan pidana (Delik)
  •  Mampu bertanggungjawab
  • Dengan sengaja atau alpa
  • Tidak ada alasan pemaaf.
Selanjutnya Roeslan Saleh mengatakan dalam hal kemampuan bertanggungjawab ada dua faktor , yaitu :
  • Akal dan
  • Kehendak
Dengan akal atau daya pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan dengan kehendak atau kemauan atau keinginan yang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Menurut Kantorowicz, untuk adanya penjatuhan pidana terhadap pembuat (Strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (Strafbare Handlung), lalu sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya adanya Schuld atau kesalahan subjektif pembuat.
Mengenai pertanggungjawaban pidana pada delik korupsi, perlu kita tinjau ketentuan pada Pasal 1 ayat (2) UU PTPK 1971 (sekarang Pasal 15 UU PTPK 1999 Jo UU No 20 tahun 2001) yang mengatur tentang percobaan dan pemufakatan melakukan korupsi.
Dengan sendirinya ketentuan ini terutama tentang permufakatan melakukan perbuatan korupsi, memperluas pertanggungjawaban pidana. Artinya jika sebelumnya perbuatan seperti itu bukan delik atau si pembuat tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatan seperti itu, sekarang menjadi delik.




Minggu, 20 Februari 2011

Pengertian Hukum Waris

Pengertian Hukum Waris menurut para ahli :
  1. Supomo, 1967
    Hukum Waris adalah  peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda (IMMATERIELE GOEDEREN) dari suatu angkatan manusia (generasi ) kepada turunannya
  2. Ter Haar , 1950 : 197
    Hukum waris adalah Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan & peralihan dari harta kekayaan yang berwujud & tidak berwujud dari generasi pada generasi.
  3. Wirjono Prodjodikoro, 1976
    Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
  4. Prof. Mr.M.J.A Von Mourik
    Hukum waris merupakan seluruh aturan yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasifa orang yang meninggal dunia.
  5. J. Satrio, SH
    Hukum waris adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu / beberapa orang dengan dalam hal ini  hukum waris merupakan bagian dari harta kekayaan
  6. Efendi Perangin SH
    Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditingkatkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya
  7. Menurut Prof Ali Afandi SH
    Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
  8. H. Abdullah Syah, 1994
    pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar /ketentuan,dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris

     

Sabtu, 19 Februari 2011

Batas waktu Penahanan

Batas waktu Penahanan oleh Pihak Penyidik samapi pada tingkat Mahkamah Agung
  • Penyidik
    1. Perintah Penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama 20 hari ( Pasal 24 ayat 1 KUHAP 
    2. dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang  paling lama 40 hari ( Pasal 24 ayat 2 KUHAP )
  • Penuntut Umum
    1. Perintah penahanan yang diberikan oleh Penuntut Umum hanya berlaku paling lama 20 hari ( Pasal 25 ayat 1 KUHAP )
    2. Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama 30 hari ( Pasal 25 ayat 2 KUHAP )
  • Pengadilan Negeri
    1. Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara sebagaimana dalam pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama  30 hari ( pasal 26 ayat 1 KUHAP )
    2. Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan paling lama 60 hari ( Pasal 26  ayat 2 KUHAP )
  • Pengadilan Tinggi
    1. Hakim pengadilan Tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk  paling lama 30 hari ( pasal 27  ayat 1 KUHAP )
    2. Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang  oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 60 hari ( Pasal 27 ayat 2 KUHAP )
  • Mahkamah Agung
    1. Hakim Mahkamah agung yang mengadili perkara sebagaimana dalam pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 50 hari  ( pasal 28 ayat 1 KUHAP )
    2. apabila diperlukan guna kepentingan pemerikasaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 60 hari ( pasal 28 ayat 2 KUHAP )


    Jumlah lamanya penahanan yang dilakukan dari tingkat Penyidik sampai pada tingkat Mahkamah Agung adalah :
    60 hari (penyidik ) + 50 hari ( penuntut Umum ) + 90 hari ( pengadilan Negeri ) + 90 hari ( pengadilan Tinggi ) + 110 hari ( Mahkamah Agung ) = 400 hari.
     

Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi

Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:
  1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan.
  2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan dijalan,pelabuhan dan sebagainya.
  3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu punggutan  yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat-surat  keputusan saja.
  4. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
  5. Pemerasan, yaitu orang yang mememang kekuasaan menuntut pembayaran uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
  6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
  7. Nepotisme, yaitu orang  yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakuka secara adil.
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi 2003 (disingkat KAK 2003) ada 4 macam tipe tindak pidana korupsi sebagai berikut :
  1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of National Public Officials)Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 KAK 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National Public Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan  yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau orang lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya. Kemudian, terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pajabat-pejabat dari organisasi internasional publik (bribery og foreign public officials and officials of public international organization) diatur dalam ketentuan Pasal 16 dan pengelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasa 17 KAK 2003.
  2. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery in the private Sector).
    Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22 KAK 2003.
    Ketentuan tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan dan perdagangan menjanjikan, menawarkan atau memberikan, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau berkerja pada suatu badan disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain melanggar tugasnya atau secara melawan hukum. Apabila dibandingkan, ada korelasi erat antara tipe tindak pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun swasta.
  3. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah (Ilicit Enrichment).
    Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya secara tidak sah (Ilicit Enrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 KAK 2003.
    Ketentuan Pasal 20 KAK 2003 mewejibkan kepada setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya untuk menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan dengan sengaja, memperkaya secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 khususnya unsur kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 KAK 2003.
  4. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in Influence).
    Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 KAK 2003. Tipe tindak pidana korupsi baru dengan memperdagankan pengaruh (Trading in Influence) sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau untuk orang lain
    Lebih lanjut Syed Husen Alatas menyatakan bahwa korupsi itu dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikuti:
    1. Korupsi Transaktif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan atas dasar kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima dari keuntungan peribadi masing-masing pihak dan kedua pihak sama-sama aktif melakukan usaha untuk mencapai keuntungan tersebut
    2. Korupsi Ekstortif (Memeras). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dimana terdapat unsur paksaan, yaitu pihak pemberi dipaksa untuk melakukan penyuapan guna mencegah terjadinya kerugian bagi dirinya, kepentingannya, orang-orang, atau hal-hal yang penting baginya
    3. Korupsi Nepotistik (Perkerabatan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dengan melakukan penunjukan secara tidak sah terhadap kawan atau kerabat untuk memegang suatu jabatan publik, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa dalam bentuk uang atau bentuk lain kepada mereka secara bertentangan dengan norma atau ketentuan yang berlaku
    4. Korupsi Investif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berwujud pemberian barang atau jasa tanpa ada keterkaitan langsung dengan keuntungan tertentu, melainkan mengharapkan suatu keuntungan yang akan diperoleh di masa depan
    5. Korupsi Suportif (Dukungan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berbetuk upaya penciptaan suasana yang dapat melanggengkan, melindungi dan memperkuat korupsi yang sedang dijalankan
    6. Korupsi Autogenik. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan secara individual untuk mendapatkan keuntungan karena memahami dan mengetahui serta mempunyai peluang terhadap obyek korupsi yang tidak diketahui oleh orang lain
    7. Korupsi Defensif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan oleh korban korupsi dalam rangka mempertahankan diri terhadap upaya pemerasan terhadap dirinya.

    Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi  dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.

Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu stafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Menurut Moeljatno tindak pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut

Pengertian straafbaarfeit menurut Simons dalam rumusannya adalah Tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-
Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Rumusan pengertian tindak pidana (straafbaarfeit) yang dinyatakan oleh Simons juga diatur dalam asas hukum pidana Indonesia, yaitu asas legalitas (principle of legality) atau dalam bahasa latin biasanya dikenal dengan Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali. maksudnya bahwa Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, ketentuan yang senada dengan asas tersebut juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perundang- Pasal tersebut.

Tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana yang hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana, dimana pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan asas yang berbeda yaitu dengan asas yang tidak tertulis Tiada pidana tanpa kesalahan

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Tindak Pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime atau verbrechen atau misdaad) yang biasa diartikan seeara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

Barda Nawawi Arief menyatakan tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materiil.
Menurut Wirjono Projodikoro, "Bahwa pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana, sedangkan menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana, bagi yang melanggar perbuatan tersebut. Jadi perbuatan yang dapat dikenakan pidana dibagi menjadi 2 (dua), yakni sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
2. Orang yang melanggar larangan itu.

Di dalam perundang-undangan tindak pidana sering disebut dengan berbagai istilah seperti: perbuatan pidana (UU Drt 1951 No. 1), peristiwa pidana (Konstitusi RIS maupun UUDS 1950) dan dalam ilmu pengetahuan hukum sering disebut dengan "delik". Istilah lain menunjuk kepada pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perkara hukuman pidana dan lain sebagainya.

Pengertian Korupsi

Pengertian Korupsi


Kata korupsi berasal dari bahasa latin; Corrupti atau Corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah sebagaimana dapat dibaca dalam The Lexion Webster Dictionary. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: Corruptio, Corrupt; Perancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (Korruptie). Dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia: Korupsi.

Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.

Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang  Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukan juga dalam Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-undang No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.