Senin, 21 Februari 2011

Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal :
  1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1) sampai ayat  (4) UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU PTPK 1999).
  2.  Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat 5 UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (5) UU PTPK 1999) bahkan kesempatan banding tidak ada.
  3. Perumusan delik dalam UU PTPK 1971 yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971; Pasal 2 dan 3 UU PTPK 1999
  4. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Ulasan mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana tersebut di atas dilanjutkan dibawah ini. Pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU PTPK 2001.
Meskipun di negeri Belanda dan Indonesia, yang hukum pidananya bersumber pada negeri Belanda, dianut asas keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran, kadang-kadang unsur kesengajaan tidak diutamakan seperti halnya Wet op de economische delicten 1950 di negeri Belanda dan UU TPE di Indonesia mengenai pemidanaan orang yang tidak dikenal (onbekende overtreder) (Pasal 6 UU TPE).
Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik korupsi, tetapi dapat juga dilakukan pemeriksaan sidang dan putusan dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (putusan in absentia) sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai dengan 4 UU PTPK 1971 (Pasal 38 ayat (1),(2),(3)dan (4) UU PTPK 1999).
Begitu pula bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan penuntut umum dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita (Pasal 23 ayat (5) UU PTPK 1971). Kesempatan banding dalam putusan ini tidak ada. Orang yang telah meninggal dunia tidak mampu melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu ia masih hidup, tetapi pertanggungjawabannya setelah meninggal dunia dibatasi sampai pada perampasan barang-barang yang telah disita.
Begitu pula dalam perumusan Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971, terdapat unsur “langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara” bahkan pada sub b ada tambahan kata “dapat” merugikan keuangan negara. Ini menunjukan bahwa “kerugian negara” yang timbul akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu hal yang dipertanggungjawabkan sama dengan strict liability karena “langsung atau tidak langsung (dapat) merugikan keuangan negara” merupakan perumusan yang amat luas artinya sehingga dengan mudah penuntut umum membuktikannya. Kata-kata “langsung dan tidak langsung” telah dihapus dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK 1999. Scrict liability ialah suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian adanya sengaja dan alpa pembuat delik.

A.Z. Abidin menyebut tiga alasan diterimanya scrict liability terhadap delik-delik tertentu.
  1. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati.
  2.  Pembuktian mens rea (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik serupa sangat sulit.
  3. suatu tingkat tinggi “bahaya sosial” dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut scrict liability.
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana perlu dibahas karena pada delik korupsi dikenal semacam alasan pembenar, yang tercantum dalam pasal 17 ayat (2) UU PTPK 1971 berikut ini. “kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan demi kepentingan umum”.
Dalam hal ini,dikemukakan pendapat para penulis hukum pidana khususnya pertanggungjawaban pidana, baik yang memisahkan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana maupun tidak.
Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut.
Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut.
“Eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande, van een toeekeningsvatbaar persoon” (Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum,dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya)
Satochid Kartanegara mengatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang sedangkan pertanggungjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya, Sathocid mengatakan, seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika :
  1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya, juga akan mengerti akan akibatnya.
  2.  jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat menentukan hendaknya atas perbuatan yang dilakukan.
  3. orang itu sadar dan insaf bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat dan tatasusila.
Simons, mengatakan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid) dapat dipandang sebagai keadaan psikis sedemikian rupa sehingga si pembuat atau pelaku mampu untuk menginsyafi atau mengetahui bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum dan sesuai dengan keinsyafan  itu mampu untuk menentukan kehendaknya

Roeslan Saleh mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya terdakwa, pada terdakwa harus ada :
  • Melakukan perbuatan pidana (Delik)
  •  Mampu bertanggungjawab
  • Dengan sengaja atau alpa
  • Tidak ada alasan pemaaf.
Selanjutnya Roeslan Saleh mengatakan dalam hal kemampuan bertanggungjawab ada dua faktor , yaitu :
  • Akal dan
  • Kehendak
Dengan akal atau daya pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan dengan kehendak atau kemauan atau keinginan yang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Menurut Kantorowicz, untuk adanya penjatuhan pidana terhadap pembuat (Strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (Strafbare Handlung), lalu sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya adanya Schuld atau kesalahan subjektif pembuat.
Mengenai pertanggungjawaban pidana pada delik korupsi, perlu kita tinjau ketentuan pada Pasal 1 ayat (2) UU PTPK 1971 (sekarang Pasal 15 UU PTPK 1999 Jo UU No 20 tahun 2001) yang mengatur tentang percobaan dan pemufakatan melakukan korupsi.
Dengan sendirinya ketentuan ini terutama tentang permufakatan melakukan perbuatan korupsi, memperluas pertanggungjawaban pidana. Artinya jika sebelumnya perbuatan seperti itu bukan delik atau si pembuat tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatan seperti itu, sekarang menjadi delik.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar